Scroll untuk baca artikel
>hostidn
>hostidn
Hukum

Dari Jusuf Muda Hingga Edhy Prabowo: Bagaimana Perempuan Dijadikan Objek dalam Pusaran Suap

×

Dari Jusuf Muda Hingga Edhy Prabowo: Bagaimana Perempuan Dijadikan Objek dalam Pusaran Suap

Sebarkan artikel ini
Dari Jusuf Muda Hingga Edhy Prabowo Dari Jusuf Muda Hingga Edhy Prabowo: Bagaimana Perempuan Dijadikan Objek dalam Pusaran Suap

detakhukum.com – Koruptor kerap kali menjadikan perempuan sebagai ‘tempat’ menampung dan mengalirkan aset hasil kejahatan mereka.

Tradisi semacam ini ternyata bukan perkara baru. Pada masa awal orde baru, Jusuf Muda Dalam yang merupakan mantan Menteri Urusan Bank sentral era Soekarno, juga didakwa melakukan hal serupa.

Korupsi Edhy diduga mengalir ke perempuan selain istrinya.

Dalam gelar perkara penetapan tersangka Edhy Prabowo. KPK mendapati bukti Edhy mengalirkan uang hasil korupsi benih lobster untuk membeli barang mewah.

Belakangan, majalah TEMPO menulis laporan bahwa Edhy diduga menggunakan duit suap untuk membelikan sebuah mobil Honda HR-V untuk seorang finalis ajang kecantikan di Indonesia. Sekitar tiga bulan lalu.

Baca juga:  KPK Beraksi Lagi, Kali Ini Giliran Pejabat Kemensos Kena OTT

Mobil Benur Untuk Calon Ratu

Edhy Prabowo diduga memerintahkan anak buahnya untuk membeli jam tangan mewah dari duit suap ekspor benur. Ia juga disinyalir membeli setidaknya dua mobil. Satu diantaranya diberikan ke seorang finalis ajang kecantikan.

Bukan hal baru.

Tradisi mengalirkan uang panas hasil korupsi ke perempuan bukan perkara baru.

Menteri urusan bank sentral zaman Orde Lama. Jusuf Muda Dalam, barangkali orang pertama yang melakukannya dalam sejarah korupsi di Indonesia.

Cerita serupa terulang saat KPK menangkap Ahmad Fathanah pada 2013 lalu, disusul pengungkapan kasus Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan pada 2014.

Baca juga:  Kasus Suap,Nurhadi dan Mantunya Mangkir Kembali dari Panggilan KPK

Perempuan kerap jadi objek dan alat kasus korupsi.

Dalam kasus aliran dana hasil korupsi, misalnya, perempuan kerap menjadi “tempat” menampung dan/atau mengalirkan aset hasil korupsi.

Dalam kasus lain, perempuan dijadikan objek gratifikasi seks* seperti dalam kasus suap Hakim Setyabudi Tejocahyono pada 2013.

Mengapa begitu?

Sekalipun perempuan sadar sebagai pemberi layanan seks atau menjadi kekasih koruptor, ia tetap tidak dapat menikmati aset, karena penerima layanan atau kekasihnya terjerat kasus korupsi.*

Ini menempatkan perempuan sebagai korban ganda; menjadi korban dalam skema kejahatan korupsi, sekaligus korban dari konstruksi sosial yang menempatkannya di bawah laki-laki. (wiki/narasi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *