Scroll untuk baca artikel
>hostidn
>hostidn
Nusantara

Aplikasi Salur Digital Pemkot Bogor Dapat Apresiasi dari DPR

×

Aplikasi Salur Digital Pemkot Bogor Dapat Apresiasi dari DPR

Sebarkan artikel ini
pemkot bogor1 1 Aplikasi Salur Digital Pemkot Bogor Dapat Apresiasi dari DPR

detakhukum.com, Bogor – Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menerapkan aplikasi Salur (Sistem Kolaborasi dan Solidaritas Untuk Rakyat) dan Jaringan Keluarga Asuh Kota (Jaga Asa).

Penerapan aplikasi Salur dan Jaga Asa tersebut bertujuan dalam mengatasi persoalan bantuan sosial (bansos), Warga bisa mengakses di salur.kotabogor.go.id dengan memasukan NIK, kemudian mereka bisa mengetahui apakah menerima bantuan atau tidak. 

Mendapat Apresiasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengungkap­kan, dengan Aplikasi Salur dan Jaga Asa merupakan salah satu upaya yang patut dicontoh daerah lain.

Menurutnya, melalui sistem aplikasi tersebut, pemda da­pat melakukan pemutakhiran data kemiskinan dan data penerima bantuan sosial di luar Data Terpadu Kesejah­teraan Sosial (DTKS), se­hingga dapat membantu warga terdampak Covid-19 dengan cepat dan tepat sa­saran.

”Contohnya tadi seperti yang disampaikan saudara Bima Arya dengan aplikasi Jaga Asa dan Salur dari Pemerintah Kota Bogor. Semoga ini bisa menjadi contoh atau bench­mark bagi daerah lain,” ujar Yandri dalam keterangan tertulis, Kamis (18/6).

Hal tersebut diungkapkan­nya dalam rapat dengar pendapat dengan agenda membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan di daerah di Gedung Nusan­tara II, Kompleks DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (17/6).

Baca juga:  Perumda Tirta Kahuripan Tetap Siaga Saat Libur Lebaran Idul Fitri

Selain Wali Kota Bogor Bima Arya, turut hadir dalam kesempatan tersebut perwa­kilan Pemkab Tangerang, Pemkot Serang, Pemkab Ci­anjur dan Pemprov DKI Ja­karta.

Lebih lanjut Yandri me­minta pemerintah daerah meng-update data keluarga penerima manfaat agar tepat sasaran dan tidak tumpang tindih antara bantuan sosial dan bantuan nontunai, baik dari pusat maupun daerah yang dialokasikan dalam APBN/APBD serta masyara­kat.

”Pemerintah daerah dalam melakukan verifikasi dan validasi data kemiskinan ha­nya bersifat administratif berdasarkan data kependu­dukan dan setelah itu dise­rahkan ke Pusdatin Kemen­sos RI. Namun setelah ter­jadi perubahan tidak dijelas­kan daftar perubahannya sehingga pemerintah daerah tidak mengetahui data peru­bahannya. Sebab itu, data kemiskinan harus dibuka secara transparan dan dija­dikan public assessment serta adanya standar atau indeks besaran bantuan so­sial,” jelas Yandri.

”Hasil ini akan kami bawa ke rapat kerja minggu depan dengan Menteri Sosial. Ma­sukannya luar biasa. Teru­tama terobosan-terobosan program seperti yang dipa­parkan Wali Kota Bogor lewat aplikasi Salur dan Jaga Asa,” imbuhnya.

Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya bercerita mengenai temuan di lapangan terkait bantuan yang diduga tidak tepat sasaran, terutama jelang Lebaran beberapa waktu lalu.

”Ketika menjelang Lebaran, pasar penuh. Saya turun ke lapangan, melihat ibu-ibu belanja pakaian, kami lihat KTP-nya. Kira-kira enam dari sepuluh ibu-ibu itu merupakan penerima ban­tuan sosial dari pemerintah. Begitu diambil KTP, NIK kita masukkan ke sistem Salur kita, mudah saja lewat pon­sel kita bisa cek itu,” ujar Bima.

Baca juga:  Positif! Buku Kisah Perjuangan Bima Arya Melawan Covid-19

Menurut Bima, data itu merupakan persoalan serius, bukan sekadar administratif tapi mungkin juga ke ranah filosofis. Artinya jika tadi di­sebut bahwa survei itu per­sepsi maka miskin juga per­sepsi.

”Persepsi miskin dari kita ke mereka berbeda. Persep­si miskin di antara mereka juga berbeda. Ini pangkal utamanya di sini. Ketika se­mua merasa berhak karena nomenklatur miskinnya tidak dipahami dengan sama oleh semua. Jadi hari ini 80 persen dari warga di setiap daerah, mengaku miskin dan terpa­par,” terangnya.

Bima menyatakan harus ada penyederhanaan varian ka­tegori bantuan yang akan disalurkan supaya tidak ada tumpang tindih penerima.

”Menurut saya, mutlak perlu disederhanakan dan dipertegas nomenklaturnya ini. Miskin struktural, misk­in terpapar seperti apa. Jadi yang darurat itu kita katego­risasi lagi. Oke, darurat tidak bisa makan, tapi kan beda. Ada yang dua bulan makan daun singkong, ada yang dua bulan nongkrong di rumah karena dirumahkan,” katanya. (dtk/red/salur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *